Bali
Kuliah Karo Liburan (KKL)
Wisata
KKL Part 2 : Merasakan Bali yang Sesungguhnya di Desa Adat Tenganan Pegringsingan
Setelah mengunjungi Kota
Surabaya, kami bergegas menuju Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi, untuk menyeberang
ke Pulau Bali. FYI, ini adalah kali pertama gua naik kapal laut loh gaess
*norak. Sepanjang jalan udah takut banget ada apa-apa. Bayangin aja, belasan
bis, ratusan penumpang, numpuk di satu kapal! Dan Alhamdulillah-nya kami tiba
di Bali dengan selamat :”)
Sesampainya di Pelabuhan
Gilimanuk, sebuah patung Dewa Siwa berukuran raksasa menyambut kami. Menandakan
bahwa mayoritas penduduk Bali mayoritas memeluk agama Siwa/agama Hindu. Siwa merupakan salah satu dewa utama di agama Hindu yang berkuasa untuk melebur alam semesta.
Patung Siwa Mahadewa di Pelabuhan Gilimanuk, Kabupaten Jembrana |
Setelah mandi dan bersih-bersih
di Denpasar, kami melanjutkan perjalanan ke destinasi pertama di Pulau Bali,
yakni Desa Tenganan Pegringsingan di Kabupaten Karangasem. Jujur, gua baru pertama kali
mendengar nama desa ini. Mungkin kita lebih familiar dengan Desa Panglipuran yang
kini jadi desa wisata terkenal di kalangan wisatawan. Tetapi katanya, desa
Tenganan Pegringsingan adalah salah satu desa tertua di Bali yang masyarakatnya
memiliki budaya yang berbeda dibanding dengan masyarakat Bali kebanyakan. Hmmm
menarik.
warga Desa Tenganan Pegringsingan |
Rombongan KKL IESP disambut oleh
petinggi desa, yakni Pak Made. Pak Made pun menjelaskan sedikit dari keunikan
Desa Tenganan Pegringsingan. Desa Tenganan Pegringsingan merupakan desa yang
berstatus ‘Bali Aga’, yakni desa yang masyarakatnya masih berpedoman pada
peraturan dan adat istiadat peninggalan leluhur sebelum kedatangan penduduk kerajaan
Majapahit.
Di Bali, hanya ada tiga desa yang berstatus sebagai desa ‘Bali Aga’, yakni Desa Trunyan Kabupaten Bangli, Desa Sembiran Kabupaten Buleleng, dan Desa Tenganan Pegringsingan Kabupaten Karangasem.
Desa Tenganan Pegringsingan memiliki tata pola dan aturan adat yang disebut dengan ‘awig-awig’, yang ditulis pada abad ke 11. Awig-awig mengatur kehidupan masyarakat Tenganan mulai dari masalah pernikahan, lingkungan, warisan, dan sebagainya. Misalnya, jika warga Desa Tenganan Pegringsingan yang menikah dengan orang luar desa, maka si warga desa tersebut tidak lagi dianggap sebagai warga Desa Tenganan Pegringsingan. Ada juga aturan yang melarang menebang pohon sembarangan.
Bale Glebeg, salah satu bangunan penting di Desa Tenganan Pegringsingan |
Penerapan Awig-awig di Desa
Tenganan boleh dibilang sangat tegas dan tidak pandang bulu. Ada pun
sanksi-sanksi yang dikenakan bagi pelanggar mulai dari denda, sikang (dilarang
masuk ke rumah tetangga, ke pura desa, dan dilarang naik ke Bale Agung), sampai
Kesah, (diusir dari wilayah desa). Wah, bisa jadi contoh baik buat Pemerintah
nih dalam menegakkan hukum.
Meskipun masih memegang tradisi leluhur, bukan berarti masyarakat Desa ini ‘anti’ terhadap modernisasi. Sepengamatan gua, masyarakat desa Tenganan Pegringsingan juga menggunakan peralatan masyarakat sekarang seperti motor, pakaian, TV, Handphone, dan listrik. Bahkan menurut Pak Made, sudah banyak anak Desa Tenganan Pegringsingan yang merantau ke luar desa untuk melanjutkan pendidikan.
anak desa Tenganan Pegringsingan yang sedang makan es krim A*ice |
Sebagai desa yang berstatus ‘Bali
Aga’ atau Bali Asli, tradisi Desa Tenganan Pegringsingan masih mengikuti
tradisi leluhur mereka yang merupakan penduduk asli Pulau Bali. Penduduk asli Bali adalah penduduk yang telah mendiami Pulau Bali jauh sebelum
pemeluk Hindu Majapahit hijrah ke Bali. Diantara perbedaan Bali Aga
dengan Bali Majapahit yakni masyarakatnya yang tidak mengenal tradisi Ngaben (membakar
mayat).
Jika ada Warga yang meninggal, maka akan dikubur di kuburan (setra) bukan diaben (dibakar). Begitu juga dengan
peryaan Hari Raya Nyepi yang mayoritas dirayakan umat Hindu Bali. Warga Desa
Tenganan Pegringsingan tidak mengenal tradisi Nyepi.
kerajinan tangan Desa Tenganan Pegringsingan |
Masyarakat Pegringsingan sangat menghormati Dewa Indra. Pemujaan Dewa Indra dilakukan dengan melakukan
tradisi ‘Mekare-kare’ atau perang pandan. Perang pandan dilakukan oleh sepasang
pemuda yang saling berperang menggunakan daun pandan berduri. Ritual perang pandan biasanya dilakukan pada bulan Juni. Sayang ketika gua belum bisa menyaksikan perang pandan ketika berkunjung ke sana.
Mayoritas penduduk Desa Tenganan Pegringsingan
berprofesi sebagai petani dan pengrajin. Salah satu kerajinan tangan khas desa
ini adalah Kain Tenun Gringsing. Tenun Gringisng inilah yang kemudian menjadi cikal
bakal nama ‘Pegringsingan’. Masyarakat desa pun menjadikan proses pembuatan
kain sebagai atraksi wisata.
Pengrajin kain Gringsing |
Kain Tenun Gringsing tersebut dikerjakan dengan
cara teknik dobel ikat, yang merupakan satu-satunya kain di Indonesia yang menggunakan teknik tersebut. Pewarna
yang digunakan juga berasal dari alam. Waktu pengerjaannya pun cukup lama yakni
antara 1 sampai 6 bulan. Mau tau harganya? Jangan kaget cuy. Bisa belasan
juta!!! Wajar, mengingat proses pengerjaan yang lama dan bahan-bahan alami yang
digunakan. Mau kain tradisonal yang bukan kaleng-kaleng? Tenun Gringsing
jawabannya!
Salah satu toko yang menjual kain Gringsing |
Selain kerajinan tenun, ada juga kerajinan
lainnya yang dihasilkan masyarakat Desa Tenganan Pegringsingan, seperti
kerajinan dari cangkang telur, ukiran kayu, sampai kerajinan daun lontar. Ada
pula Penduduk Desa Tenganan Pegringsingan yang bergantung pada potensi alam,
yakni dengan bekerja sebagai petani madu dan air nira.
Penduduk desa ini ramah-ramah
banget lho. Mereka mempersilahkan pengunjung untuk bertanya dan melihat proses
pembuatan kerajinan. Pada saat kami berkunjung, ternyata sedang ada upacara
adat (tapi ga tau namanya apa hwhw). Ada penari, ada persembahan, ada kerbau,
ada ayam, dan para penduduk berbondong-bondong pergi ke bale.
para gadis desa yang siap mempersembahkan tarian |
Buat kalian yang ingin tahu
kebudayaan Bali yang ‘anti mainstream', bisa banget datang ke Desa Tenganan Pegringsingan.
Budaya yang unik, penduduk yang ramah, lingkungan yang asri, kerajinan tangan yang memukau, bangunan tradisional yang antik, menjadi hal-hal yang akan kalian temui di desa ini. Berapa sih harga tiket masuknya? Nah, pengunjung
hanya diminta membayar seikhlasnya untuk biaya masuk.
Malam harinya kami tidur di balai
desa untuk beristirahat sebelum melanjutkan perjalanan di Pulau Dewata.
Perjalanan akan kami lanjutkan dengan mengunjungi sebuah pasar legendaris di
Bali. Senapsaran? Tunggu kelanjutannya!
Life, religion, and art all converge in Bali. They have no word of their language for ‘artist’ or ‘art’. Everyone is an artist.
-Anais Nin
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus