Merangkai Sejarah Batavia : Dari Museum Bank Mandiri hingga Museum Bahari


Setelah beberapa kali mengikuti walking tour di Semarang, akhirnya gua berkesempatan untuk ikut walking tour di Jakarta alias di kampuang halaman sendiri. Kali ini gua mengikuti walking tour yang diselenggarakan oleh Jakarta Good Guide (JGG).

Tour yang gua pilih adalah weekend tour dengan rute Museum Mandiri – Museum Bahari. Sebenernya agak bimbang juga antara pilih rute Museum Mandiri – Museum Bahari atau rute regular Chinatown (Glodok), karena menurut gua dua-duanya menarik.

Tapi, berhubung Agustus kemarin gua abis jelajah Chinatown ala-ala JGG, jadi gua putuskan untuk pilih rute Museum Mandiri. Iya, sebelumnya gua pernah ‘hampir’ ikut walking tour rute Chinatown. Tapi karena gua telat gara-gara kejebak macet, jadi gua ditinggal rombongan. Udah terlanjur sampe di Glodok, akhirnya gua keliling-keliling Glodok bermodalkan panduan internet wkwk.

Oh iya, untuk ikut walking tour ini peserta wajib untuk daftar maksimal jam 6 sore sebelum hari H walking tour. Misal kalian mau ikut rute Chinatown Hari Senin tanggal 17 Agustus 2019, maka kalian wajib daftar setidaknya hari Minggu 16 Agustus 2019 jam 6 sore. Walking tour ini menganut sIstem ‘pay as you wish’ alias bayar sukarela.

Setelah daftar, malemnya gua dapat email kalau titik kumpul jalan-jalan besok ada di depan Museum Bank Mandiri jam 9 pagi. Udah tuh, gua berangkat naik Transjakarta dari PGC sekitar jam setengah 8 dengan asumsi hari Sabtu gabakal semacet hari biasanya. TERNYATA SALAH BESAR DONG! Gak taunya Cililitan macet parah karena ada proyek galian. MASA IYA GUA DUA KALI GAGAL IKUT WALKING TOUR??! :(

Akhirnya gua turun di Halte Harmoni Central Busway (HCB) dan langsung pesen Ojol buat ke Museum Mandiri. Wushhh….. Nyaris telat (lagi) saya.. Huftt

Guide untuk walking tour kali ini ; Mas Huans
Destinasi pertama adalah Museum Bank Mandiri. Sebenernya ada agenda buat masuk ke dalam museum ini, tapi ternyata hari ini adalah libur nasional yang bertepatan sama Maulid Nabi Muhammad SAW, jadi museum nya juga ikut libur alias tutup. Padahal pengen banget masuk museum ini lagi. Terakhir masuk sini kayaknya hampir 4 tahun lalu...

Singkat cerita, gedung Museum Bank Mandiri awalnya adalah sebuah gedung perkantoran Wilayah Nederlandsche Handel Maatschappij (NHM) di Hindia Timur yang lebih dikenal dengan nama de Factorij Batavia. Perusahaan ini merupakan perusahaan dagang milik Belanda yang kemudian berkembang menjadi perusahaan di bidang perbankan.

Baca Juga : Kepingan Sejarah Antara Rasuna Said dan Casablanca

Museum Bank Mandiri dilihat dari Stasiun Jakartakota

Kaca patri dengan ukiran empat musim di benua Eropa
(dokumentasi Desember 2019)


Mas Huans bilang, salah satu daya tarik dari museum ini adalah ukiran kaca patri nya yang indah. Jika kita berkesempatan masuk museum ini, maka kita akan melihat kaca patri yang menggambarkan empat musim di Eropa, yakni musim panas, dingin, semi, dan gugur. Entah apa tujuannya, mungkin orang Belanda dulu ingin mengenang kampung halaman mereka lewat ukiran kaca patri.

Selain itu, sisi unik dari museum ini adalah cerita pembangunannya yang menggunakan 'ritual' khas nusantara. Ya, ketika pembangunan gedung museum, orang kompeni menggelar upacara penanaman kepala kerbau di tengah bangunan ini. Ini dilakukan sebagai upaya penghormatan terhadap tradisi lokal saat itu.


Saksi sejarah kelam pembantaian etnis Tionghoa 
Bergeser ke Jalan Pintu Besar, di sini Mas Huans bercerita mengenai sejarah singkat Kawasan Kota Tua Jakarta dan daerah sekitarnya. Dulunya, gedung yang kita kenal sebagai Museum Sejarah Jakarta (Museum Fatahillah) merupakan kantor gubernur Batavia (Governoor Kantor) dan halaman depannya merupakan balaikota (stadhuis). 

Dahulu, kota Batavia dikelilingi oleh sebuah benteng besar untuk mengantisipasi serangan dari kesultanan Banten. Benteng ini terdapat pintu-pintu yang berukuran besar dan kecil. Pintu besar ditujukan sebagai tempat keluar masuk orang Belanda. Sementara pintu kecil khusus untuk orang Tionghoa dan pribumi.

Sebagai kota yang sedang berkembang, kondisi Batavia saat itu terus didatangi oleh para pemburu nasib. Tidak hanya orang Belanda, tetapi si ‘Mutiara dari Timur’ ini juga memikat orang-orang Tionghoa untuk datang ke Batavia. Populasi orang Tionghoa pun meningkat drastis.

Bangunan khas Tiongkok di Kawasan Kota Tua. Kini sebagian telah beralih menjadi hotel dan minimarket
Singkat cerita, Adriaan Valckenier, Gubernur Jenderal VOC saat itu merasa ‘gerah’ dengan membludaknya populasi orang Tionghoa. Mulailah upaya untuk mengurangi populasi orang Tionghoa di Batavia, yakni dengan mengirimkan mereka ke wilayah koloni Belanda lain seperti Sri Lanka atau Afrika.

Namun, terdengar kabar bahwa orang-orang Tionghoa yang dibawa ke Sri Lanka atau Afrika justru dibuang ke laut. Kabar ini membuat orang Tionghoa di Batavia menjadi marah dan merencanakan untuk melakukan pemberontakan terhadap VOC.

Akhirnya, Adrian Valckenier memutuskan untuk ‘membasmi’ orang Tionghoa baik yang tinggal di dalam maupun di luar tembok Batavia. Tanpa ampun, pasukan VOC membasmi kurang lebih 10.000 orang Tionghoa. Kebanyakan dari mereka dipenggal kepalanya secara membabi buta.
 
Ilustrasi Geger Pecinan tahun 1740

*merinding*

Darah pun berceceran di mana-mana bahkan tumpah ruah sampai ke kali (sungai) hingga mengubah warna air kali tersebut menjadi merah. Kali ini kemudian dinamakan Kali Angke yang konon berasal dari bahasa Hokkian. ‘Ang’ berarti ‘merah’ dan ‘Ke’ berarti ‘sungai’. Peristiwa ini akhirnya dikenal sebagai Geger Pecinan atau Tragedi Angke atau dalam bahasa Belanda disebut Chinezenmoord.

Mas Huans bilang, Adrian Valckenier divonis bersalah atas kekejian ini. Ia pun dipenjara dan dijatuhi hukuman mati. Tapi sayangnya, ia keburu meninggal di sel sebelum dieksekusi mati.

Sebagai permintaan maaf kepada Orang Tionghoa, Belanda akhirnya memberi kawasan khusus kepada Orang Tionghoa untuk bermukim. Kawasan ini tidak jauh dari pusat Kota Batavia. Kawasan inilah yang kita kenal dengan Glodok. Hingga saat ini pun Glodok dikenal sebagai Chinatown-nya Jakarta dan tersohor sebagai pusat elektronik terbesar se-Asia Tenggara. Hayooo siapa yang pernah beli HP/laptop di Glodok??

Peristiwa Geger Pecinan di Batavia akhirnya membuat pemerintah kolonial menjadi 'parno' dengan eksistensi orang Tionghoa. Akhirnya, orang-orang Tionghoa banyak yang dipisah dan ditempatkan di kawasan khusus, salah satunya orang Tionghoa di Semarang. Belanda memindahkan mereka dari kawasan Gedung Batu ke daerah dekat Kota Lama Semarang agar mudah diawasi.

Baca Juga : Pecinan Semarang, Dulu dan Sekarang

Beranjak ke sekitar Kali Besar, di sini kita dapat temui bangunan kuno yang berjejer di tepi kanan-kirinya. Sebelumnya gua sudah pernah menuliskan beberapa sejarah singkat gedung-gedung di kawasan Kali Besar di sini.

Gedung Jasa Raharja
Namun, salah satu gedung yang paling menyita perhatian adalah Toko Merah yang didirikan pada 1730. Gedung ini awalnya digunakan sebagai tempat tinggal Gustaaf Willem Baron Van Imhoff semasa menjabat sebagai Gubernur Jenderal VOC pada 1743 – 1750. Ada yang bilang bahwa penamaan Toko Merah terinspirasi dari warna merah darah tragedi Geger Pecinan. Tetapi ada juga sumber yang mengatakan penamaan ‘merah’ bersumber dari kepercayaan Orang Tionghoa yang menganggap warna merah merupakan warna pembawa hoki.

Toko Merah.
Konon, toko Merah ini banyak menampung reduksi dari jiwa-jiwa korban Geger Pecinan.
Mas Huans lalu mengajak kami untuk singgah ke jembatan legendaris di Kawasan Kota Tua. Ada yang tau jembatan apa? Jembatan Ancol? Si Manis kali ah wkwkw. Bukan, guys. Jawabannya adalah Jembatan Kota Intan. Jembatan yang dibangun pada 1628 ini dulu berfungsi sebagai penghubung perdagangan antara sisi timur dengan barat. Belanda sempat menyebut nama jembatan ini sebagai De Hoenderpasar Brig atau jembatan ayam, karena memang dahulu di sekitar jembatan ini terdapat pasar ayam. Tahun demi tahun, jembatan ini beberapa kali sempat berganti nama mulai dari Jembatan Juliana hingga Jembatan Willhelmina.

Jembatan Kota Intan
Pasca kemerdekaan, Presiden Sukarno ingin menghilangkan nama-nama yang berbau Belanda. Akhirnya, jembatan ini diubah namanya menjadi Kota Intan. Kota Intan berasal dari berasal dari salah satu bastion (kubu pengintaian) benteng VOC yang namanya diambil dari dari bebatuan mulia. Bastion yang menghadap Jembatan Kota Intan bernama Bastion diamant (intan), sehingga jembatan ini dinamakan Jembatan Kota Intan.

Perjalanan dilanjutkan menuju Museum Bahari. Kami singgah di sebuah bangunan tua yang kini beralih menjadi sebuah resto sea food bernama Resto Raja Kuring. Bangunan yang dibangun pada 1628 ini ini dulunya merupakan tempat reparasi kapal. Bangunan ini mulai dijadikan restoran sejak awal 2000an.

Restoran Raja Kuring
Mural di dekat Resto Raja Kuring
Bergerser sedikit ke sebelah Resto Raja Kuring, ada sebuah bangunan yang tidak kalah kuno yakni gedung Galangan VOC. Galangan ini dibangun pada 1628 dan awalnya berfungsi sebagai tempat reparasi kapal. Namun seiring berjalan waktu, gedung VOC ini berubah fungsi menjadi tempat bongkar muat kapal.

Sempat terbengkalai, pada tahun 1998 seorang pengusaha Tionghoa mencoba peruntungan untuk membeli bangunan ini dan menyulapnya menjadi café. Café ini awalnya ramai pengunjung, bahkan dulu Gubernur DKI Jakarta Pak Sutiyoso juga sempat mampir ke café ini. Tapi ya namanya rezeki, pasti ada pasang surutnya. Pengunjung yang datang semakin sepi. Bangunan ini akhirnya difungsikan sebagai sekolah alat musik khas Tiongkok.

Cafe Galangan VOC: Dulu dan sekarang
Bertemu ‘kembaran’ Menara Pisa
Akhirnya setelah jalan kaki panas-panasan, ditambah kena asap-asap kendaraan, belum lagi diklaksonin mobil-mobil ‘transformers’, akhirnya kami tiba di destinasi terakhir, yakni Museum Bahari. Meski lagi libur Maulid, ternyata Museum Bahari tetap buka seperti biasa. Alhamdulillah yah rejeki anak sholeh. 

Objek pertama yang kami sambangi adalah Menara Syahbandar atau disebut juga Uitkijk Post (menara pemantau). Sesuai namanya, menara ini dahulu berfungsi untuk memantau aktivitas perdagangan dari arah Pelabuhan Sunda Kelapa.

Menara Syahbandar
Keunikan dari menara ini adalah posisinya yang agak miring. Menurut Mas Huans, kemiringan ini akibat menara Syahbandar yang dibangun di atas tanah rawa serta letaknya yang berada di pinggir jalan yang jadi tempat lalu lalang transformers (baca : truk, tronton, molen, dll). Alhasil, kemiringan menara ini bertambah setiap tahunnya. Fix ga usah jauh-jauh ke Italia kalau mau lihat menara miring,di Jakarta ada kok HAHAHA

Di dekat Menara Syahbandar, berdiri tugu peringatan HUT ke-450 Kota Jakarta.
BTW, dulu lambang Kota Batavia (Jakarta) disimbolkan dengan sebuah pedang dan tameng yang diapit oleh dua ekor singa. Namun, lambang ini akhirnya diganti dengan Tugu Monas karena pedang dianggap sebagai simbol kekerasan.


Galangan VOC dari puncak Menara Syahbandar.
Setelah naik ke puncak menara ini, akhirnya gua bisa membuktikan sendiri bahwa menara ini benar-benar miring....
Puas menikmati kemiringan Menara Syahbandar, kami masuk ke Museum Bahari yang letaknya gak jauh dari Menara Syahbandar. Dibangun pada 1652, gedung ini awalnya berfungsi sebagai gudang rempah-rempah. Kalian tahu sendiri kan alasan kenapa Belanda menjajah kita hampir 3 abad lamanya? Ya karena rempah-rempah ini. Pada masa penjajahan Jepang, gedung ini sempat berubah fungsi menjadi gudang senjata.

Museum Bahari. Untuk masuk ke museum ini, pengunjung harus membayar Rp 5.000 untuk dewasa dan Rp 3.000 untuk pelajar/mahasiswa.

Di dalam museum ini, dipamerkan jenis rempah-rempah yang menjadi komoditas utama pada zaman kolonial.
Kisah pilu ‘Kampung Pecah Kulit’
Mas Huans juga sempat bercerita mengenai kejadian ‘memilukan’ di sekitar wilayah Kota Tua, yakni kisah tentang Pieter Erberveld, seorang warga blasteran Jerman-Thai yang saat itu gencar memimpin perlawanan terhadap pemerintah Batavia. Sebagai salah seorang tuan tanah, Pieter Erberveld merasa dirugikan ketika kolonial menyita ratusan hektare tanah miliknya. Ia dan ratusan penduduk pribumi akhirnya merencanakan untuk melakukan makar terhadap pemerintah Kolonial tepat pada malam tahun baru 1723. Namun sayang, konon rencana ini dibocorkan oleh pembantu Pieter Erberveld sendiri.

Empat bulan kemudian, ia dijatuhi hukuman mati. Eksekusi dilaksanakan di luar tembok Batavia tepatnya di kawasan Jalan Pangeran Jayakarta (Jacatraweg). Hukuman yang dijatuhkan ke Pieter termasuk salah satu hukuman paling sadis. Bukan dipenggal ataupun ditembak, tetapi Pieter dieksekusi menggunakan kuda. Hah? Gimana tuh?

Sumpah, gua ngilu sendiri dengernya 😭. Jadi, kedua tangan dan kaki Pieter masing-masing diikat pada seekor kuda yang berlari secara berlawanan ke empat penjuru. Hasilnya? Tubuh Pieter pecah dan terburai menjadi empat bagian. Tempat ini kemudian dikenal sebagai Kampung Pecah Kulit. Belanda lalu membangun monument peringatan bagi pribumi agar tidak melakukan makar terhadap kolonial. Replika tugu ini bisa kita lihat di Museum Taman Prasasti.

Baca Juga : Mencari Olivia Raffles hingga Soe Hok Gie di Museum Taman Prasasti 


*****

Daaaan selesai lah sudah walking tour rute Museum Mandiri – Museum Bahari. Padahal jarak Museum Mandiri – Museum Bahari cuma 2 km loh, tapi ternyata banyak cerita-cerita ‘menarik’ di setiap jengkalnya. Anyway yang mau ikut walking tour sama JGG, cusss pantengin aja official Instagramnnya di @Jktgoodguide. 100% dijamin puas!

Terima kasih, Jakarta Good Guide! Saya jadi ketagihan walking tour ❤
Siapa saja yang menggunakan tangannya untuk menghentikan roda sejarah, jari-jemarinya akan hancur
-Lech Walesa

1 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.