Air Terjun
Jawa Tengah
Semarang
Wisata
Curug Lawe ; Definisi 'Surga Tersembunyi' yang Sesungguhnya
Warning : Postingan ini bersifat
major throwback dan sangat late post
Kenapa? Karena jalan-jalannya di
Bulan Februari, tapi baru sempet gua tulis sekarang.. wkwk. Gak apa-apa lah ya.
Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali, kan? Dan inilah dia kisah menjelajahi
Curug Lawe di Kabupaten Semarang.
Setelah resmi menyandang gelar
sarjana (sekaligus menyandang gelar sebagai beban negara), ada satu hal penting
yang gua pikirkan. Cari kerja? Kuliah S2? Lanjut ke pelaminan? Bukan! Bukan itu
saudara-saudara! Ada hal yang lebih penting saat itu, yakni ; apa destinasi wisata
terakhir di Semarang dan sekitarnya yang harus gua kunjungi sebelum pindah
permanen ke Jakarta.
Netizen be lyke :
Seriously, what?? |
Oh iya, pada jalan-jalan edisi ‘Perpisahan’ ini gua mengajak 3 teman kuliah, yakni Aris, Henty, dan Lutfi. Akhirnya setelah
Kami berangkat dari Tembalang
pukul 09.30 dengan estimasi tiba di lokasi sekitar pukul 10.15an. Di
perjalanan, kami membeli ubi madu cilembu yang masih hangat untuk dimakan di
air terjun. Main air sambil makan ubi yang masih anget-anget, beuhh syahdu kan? BTW penjual
ubi cilembu ini bisa kalian temui kalau kalian melewati Jalan Setiabudi - Jalan Perintis
Kemerdekaan arah Solo-Jogja (sebelum Vihara Buddhagaya Watugong).
Curug Lawe berada di Desa
Kalisidi, Ungaran Barat, Kabupaten Semarang. Jika berangkat dari Tembalang
(Kampus Undip) membutuhkan waktu sekitar 30 menit. Jika berangkat dari pusat
kota Semarang membutuhkan waktu sekitar 45 menit sampai 1 jam.
Untuk masuk ke air terjun ini
kita hanya perlu membayar retribusi sebesar Rp 4.000/orang (sudah termasuk
biaya penitipan motor). Dari tempat pembelian karcis menuju pintu masuk, pengunjung akan melewati deretan kebun cengkeh. Nah, jarak pintu masuk menuju air terjun ini lumayan jauh dan lama banget. Jadi, persiapkan bekal kalian karena dari pintu masuk
inilah perjuangan benar-benar dimulai.
Jalan menuju pintu masuk Curug Lawe yang dikelilingi kebun cengkeh |
Terakhir gua pergi ke air terjun
di tahun 2017, tepatnya ke Air Terjun Grojogan Sewu di Karanganyar. Yang gua ingat
dari Grojogan Sewu adalah anak tangganya yang buanyak dan gak habis-habis.
Jadi, bayangan pertama gua tentang jalan menuju Curug Lawe ini hampir sama lah
kayak Grojogan Sewu yakni berupa anak tangga. TERNYATA GUA SALAH BESAR.
Kalian mau tahu gimana medan
menuju curug lawe? Sempit dan cuma bisa dilewatin satu orang secara bergantian. Selain sempit, jalan menuju Curug Lawe juga licin karena berlumut. Yang
lebih greget lagi, sebelah kanan-kirinya tuh jurang dan parit. Jurang, gaes. J-U-R-A-N-G. Wah gokil. Kalian
harus konsentrasi ya, karena nanti bisa-bisa jatuh ke pelukan orang yang salah ke jurang.
Sebelah kiri jurang, sebelah kanan parit |
Meski jalurnya ‘super deg-degan’,
tapi pemandangan di sepanjang jalan menuju Curug Lawe ini bisa dibilang juara.
Bagus banget! Pohon-pohonnya rindang, kabut yang lumayan tebal, kicauan
burung-burung yang merdu, dan ditambah suara merdu dari uwa aung. Berasa di
hutan hujan Kalimantan. Sungainya juga jernih, banyak ikannya, dan gak ada sampah sedikitpun. Benar-benar asri.
Sungai yang super jernih dan suegerrrr |
Berasa di Taman Nasional Tanjung Puting |
Cobaan gak berhenti sampai di
jalan yang terjal dan bikin deg-degan. Belum sampai 20 menit jalan, tiba-tiba
turun hujan. Padahal tadi di Tembalang panas dan ga ada tanda-tanda hujan.
Mampus dong, kita cuma bawa 2 jas hujan. Satu jas hujan ponco (yang bisa
dipakai rame-rame), satu lagi jas hujan egois alias cuma bisa dipake buat satu
orang wkwk.
Di tengah jalan menuju Curug Lawe, tedapat sebuah jembatan kayu dengan dominasi warna merah, yang dinamakan Jembatan Romantis. Dulu, jembatan Romantis ini rusak parah karena lantai kayunya sudah lapuk dan berlubang, tetapi sekarang sudah direnovasi kembali. Entah kenapa diberi nama jembatan Romantis, tapi yang jelas jembatan ini menjadi salah satu spot favorit di Curug Lawe. Kalian juga harus berhat-hati di sini, karena hanya satu sisi jembatan yang dipasangi teralis besi, sementara sisi satunya lagi dibiarkan begitu saja.
Jembatan Cintaaaaaa~ |
Hampir 1 jam jalan, tapi Curug
Lawe belum juga kelihatan batang hidungnya. Hujannya juga belum berhenti malah
tambah deras. Ditambah perut yang keroncongan karena belum makan nasi dari
pagi. Oke fix, akhirnya kami berhenti sejenak dan memakan ubi cilembu yang
sudah dibeli sebelumnya. Ubinya udah dingin btw wkwk. Selain ubi cilembu, gua juga membawa sebotol Tupp*rware
berisi air putih. Selain biar hemat, gua
juga sudah dibiasakan sejak kecil untuk bawa bekal minum sendiri.
“Wa, bagi minum dong” ujar Henty
*Ambil botol minum di samping tas* “Lah Kok botol minum Ga Ada??”
*panik* *Cek di dalem tas* “Lah mana botol minum gua yakk”
*Cek di tas bagian depan* "Kok gak ada??!"
*Cek di kantong celana* "GAK MUNGKIN ADA"
“LAHH BOTOL MINUM GUA ILANG DONG” ðŸ˜
Anjir, ternyata Tupp*rware gua
ilang. Gak tahu jatuh di mana. Padahal waktu di pintu masuk ke Curug Lawe masih
ada botol minum aing. Bukan rejeki gua kali ya. Padahal itu botol minum legend
yang udah menemani gua sejak hijrah ke Semarang. Dia juga udah melalangbuana ke
mana-mana, mulai dari menemani KKN di Pekalongan, Wawancara Narasumber di Jogja, sampai KKL di Bali. Botol kesayanganku ðŸ˜ðŸ˜
Dengan perasaan hati yang penuh luka, akhirnya perjalanan dilanjutkan
tanpa botol minum kesayangan. Hampir 2 jam jalan tapi gak sampe-sampe juga ke
Curug Lawe. Sumpah kaki gua pegel banget, berasa mau copot. Mana medannya naik-turun ditambah licin (karena abis hujan). “Awas aja, udah capek-capek jalan, gak taunya
curugnya jelek” Sambatku dalam hati. Ya, sambat adalah hobiku sejak kuliah.
Setelah sambat-menyambat selama
perjalanan panjang, akhirnya yang ditunggu muncul juga. Sedikit demi sedikit penampakan Curug Lawe mulai terlihat. Dan pas pertama kali lihat
Curug Lawe gua hanya bisa berkata : WOW. Airnya jernih, dingin, segerrrr. Bersih, gak ada
sampah berserakan. Tebingnya eksotis. Pohonnya juga rindang. Benar-benar definisi surga tersembunyi (hidden gem) yang sesungguhnya di kaki Gunung Ungaran. Kejadian botol minum yang hilang pun seketika jadi terlupakan karena keindahan curug Lawe (?).
Akhirnya kamu muncul jugha y |
BTW udah pada tahu belom
asal-usul nama ‘Curug Lawe’? Nama ‘Lawe’ Konon datang dari air yang jatuh dari
tebing yang terlihat seperti benang putih, yang dalam bahasa jawa disebut ‘Lawe’.
Sedangkan air terjun dalam bahasa jawa disebut ‘Curug’. Namun, ada juga yang
mengisahkan bahwa nama ‘Lawe’ berasal dari jumlah air terjun berjumlah 25 yang
dalam bahasa Jawa disebut selawe. Seperti
itu pemirsah.
mesmerizing gateaway |
Berbeda dengan Air Terjun Montel di Kudus yang terdapat pedagang makanan/minuman di area air terjun, di area Curug Lawe ini gak ada
warung makan atau sejenisnya. Jadi, sebisa mungkin bawa
bekal dan amunisi sendiri selama berkunjung ke sini.
Ini style baru ke air terjun ya Pakai jas hujan transparan biar gak basah sekaligus biar bajunya tetep kelihatan ✌ |
Sebenarnya di Desa Kalisidi juga
ada satu air terjun lainnya yang konon gak kalah cantik, yakni Curug Benowo, sehingga area Curug Lawe dan Benowo ini sering disingkat CLBK (Curug Lawe-Benowo Kalisidi).. Tetapi
jika dibandingkan Curug Lawe, Curug Benowo memang kurang populer di masyarakat. Mungkin nih
ya, orang yang berkunjung ke Curug Lawe sudah terlalu capek buat
berkunjung ke Curug Benowo, meski keduanya hanya berjarak ratusan meter saja.
Akhirnya perjuangan setengah mati ke Curug Lawe terbayarkan dengan pemandangan indah. Mungkin perjalanan hidup manusia bisa diibaratkan dengan perjalanan menuju Curug Lawe. Untuk mencapai tujuan hidup, kadang manusia harus melewati jalan yang sulit dan medan yang curam. Terkadang juga kita harus kehilangan orang dan atau harta benda yang kita kasihi. Namun, dengan usaha dan tekad yang kuat, akhirnya kita bisa mencapai tujuan hidup yang indah. EaKkKKkkKk~~~~~~.
Dengan berakhirnya kunjungan di Curug Lawe, berakhir lah pula petualangan gua menjelajahi tempat di Semarang dan sekitarnya. Dimulai dari menyaksikan eksotisme bangunan kuno di Kota Lama, mengagumi akulturasi budaya di Masjid Agung Jawa Tengah, uji nyali di Lawang Sewu, mengunjungi tempat-tempat antimainstream di Ambarawa, dan diakhiri dengan mengunjungi surga tersembunyi di Curug Lawe. Matur Nuwun Sanget, Semarang! Semoga diberi kesempatan untuk bisa kembali lagi ke Kota Lunpia ini. AAMIIN. Sampai jumpa di kesempatan berikutnya!
So byutipul |
Anti Wacana-Wacana Club |
BTW di perjalanan pulang gua masih berusaha buat cari botol minum gua yang hilang. Kiri kanan kulihat saja~ ternyata hasilnya nihil. Satu-satunya harapan adalah botol minum gua ketinggalan di tempat parkir. Dan ternyata.........hasilnya nihil juga, Hehe. Bye bye tupperware kesayangan. Mungkin kita belum berjodoh :(
Dengan berakhirnya kunjungan di Curug Lawe, berakhir lah pula petualangan gua menjelajahi tempat di Semarang dan sekitarnya. Dimulai dari menyaksikan eksotisme bangunan kuno di Kota Lama, mengagumi akulturasi budaya di Masjid Agung Jawa Tengah, uji nyali di Lawang Sewu, mengunjungi tempat-tempat antimainstream di Ambarawa, dan diakhiri dengan mengunjungi surga tersembunyi di Curug Lawe. Matur Nuwun Sanget, Semarang! Semoga diberi kesempatan untuk bisa kembali lagi ke Kota Lunpia ini. AAMIIN. Sampai jumpa di kesempatan berikutnya!
Tenang saja, perpisahan tak menyedihkan, yang menyedihkan adalah, bila habis itu saling lupa
-Pidi Baiq
Wahhh ga tau kenapa kok aku sedih ya bacanyaa... berarti catatan anak rantau udah tamat kah???? wkwkwkwkwk jadi catatan apa lagi nih
BalasHapusIyaaa cepet banget ya sul. Perasaan kemarin baru banget nyampe di Stasiun Poncol buat merantau eh skrg dah balik ke JKT :(
HapusHmmmmmm mungkin Catatan Anak Rantau akan bertransformasi menjadi Catatan Anak Rumahan wkwkwkwkw ditunggu saja~~~~~